In international law, a persistent objector is a sovereign state which has consistently and clearly objected to a norm of customary international law since the norm's emergence, and considers itself not bound to observe the norm. The concept is an example of the positivist doctrine that a state can only be bound by norms to which it has consented.
Attributes | Values |
---|
rdfs:label
| - Keberatan yang terus-menerus (in)
- Persistent objector (en)
- Persistent objector (pl)
|
rdfs:comment
| - In international law, a persistent objector is a sovereign state which has consistently and clearly objected to a norm of customary international law since the norm's emergence, and considers itself not bound to observe the norm. The concept is an example of the positivist doctrine that a state can only be bound by norms to which it has consented. (en)
- Dalam hukum internasional, keberatan yang menerus (persistent objection) adalah sebuah konsep di mana sebuah negara berdaulat secara konsisten dan jelas menolak suatu norma hukum kebiasaan internasional sejak munculnya norma tersebut, dan menganggap dirinya tidak terikat untuk menaati norma tersebut. Doktrin ini disifatkan sebagai sebuah doktrin positivis, bahwa negara hanya dapat terikat oleh norma-norma yang telah disetujui. (in)
- Persistent objector (ang. trwały przeciwnik) – określenie państwa, które nie staje się związane określoną normą zwyczaju międzynarodowego, ponieważ sprzeciwia się jej w sposób stały, konsekwentny i jednoznaczny. Sprzeciw państwa, aby być skutecznym, powinien objawiać się już na etapie tworzenia normy zwyczajowej i być kontynuowany także w czasie, gdy nabrała już ona mocy prawnie wiążącej. (pl)
|
dct:subject
| |
Wikipage page ID
| |
Wikipage revision ID
| |
Link from a Wikipage to another Wikipage
| |
Link from a Wikipage to an external page
| |
sameAs
| |
dbp:wikiPageUsesTemplate
| |
has abstract
| - In international law, a persistent objector is a sovereign state which has consistently and clearly objected to a norm of customary international law since the norm's emergence, and considers itself not bound to observe the norm. The concept is an example of the positivist doctrine that a state can only be bound by norms to which it has consented. Objection to the emergence of a norm may come in the form of statements declaring a state's position on an existing right, or action in which a state exercises an existing right in the face of an emerging norm which would threaten that right. Statements made at the time of a rule's establishment, such as in a reservation to a treaty, offer the clearest expression of a state's objection, but objections might also be expressed during treaty negotiations and even in statements by domestic lawmakers accompanying purely municipal legislation. Judicial support for the persistent objector rule is weak. The International Court of Justice has discussed the persistent objector rule in dicta in two cases: the Asylum case (Columbia v Peru, [1950] ICJ 6) and the Fisheries case (United Kingdom v Norway, [1951] ICJ 3). The Inter-American Commission on Human Rights rejected an attempted assertion of the persistent objector defence in Domingues v United States (2002) on the ground that the prohibition against the juvenile death penalty to which the United States objected was not merely customary international law but jus cogens, a norm from which no derogation was permitted. However, this could also be read as confirming that a persistent objector defence may successfully overcome a norm of international human rights law which has not attained the status of jus cogens. Stronger support for the rule can be found in the writings of certain jurists. The American Law Institute was historically a major contributor to developing a "comprehensive theory" of persistent objection through its 1987 Third Restatement of the Foreign Relations Law of the United States, part of its Restatements of the Law series. (en)
- Dalam hukum internasional, keberatan yang menerus (persistent objection) adalah sebuah konsep di mana sebuah negara berdaulat secara konsisten dan jelas menolak suatu norma hukum kebiasaan internasional sejak munculnya norma tersebut, dan menganggap dirinya tidak terikat untuk menaati norma tersebut. Doktrin ini disifatkan sebagai sebuah doktrin positivis, bahwa negara hanya dapat terikat oleh norma-norma yang telah disetujui. Keberatan terhadap munculnya suatu norma hukum internasional dapat berupa pernyataan yang menyatakan posisi suatu negara atas hak yang ada, atau tindakan di mana negara menjalankan hak yang ada dalam menghadapi norma yang sedang berkembang yang mengancam hak tersebut. Pernyataan yang dibuat pada saat penetapan sebuah peraturan, seperti reservasi untuk perjanjian internasional, merupakan sebuah ekspresi yang jelas dari keberatan sebuah negara. Keberatan juga dapat diungkapkan selama negosiasi perjanjian dan dalam peraturan perundang-undangan nasional. Lembaga-lembaga pengadilan internasional tidak secara luas menerima konsep keberatan ini. Pengadilan Internasional telah membahasnya secara dicta dalam dua kasus: Asylum (Columbia v Peru, [1950] ICJ 6) dan Fisheries (United Kingdom v Norway, [1951] ICJ 3). Komisi Hak Asasi Manusia Inter-Amerika menolak upaya penerapan doktrin ini dalam Domingues v United States (2002) dengan alasan bahwa larangan hukuman mati remaja yang menjadi keberatan Amerika Serikat bukan hanya sebuah hukum kebiasaan internasional tetapi juga jus cogens, sebuah norma hukum internasional yang tidak dapat dikurangi sama sekali. Akan tetapi, hal ini juga dapat ditafsirkan bahwa doktrin keberatan ini dapat diposisikan lebih tinggi daripada sebuah norma hukum HAM internasional yang belum berstatus jus cogens. Dukungan yang lebih kuat akan doktrin keberatan dapat ditemukan dalam tulisan para ahli hukum. telah lama mendukung pengembangan "teori komprehensif" tentang keberatan yang terus-menerus melalui manuskrip Third Restatement of the Foreign Relations Law of the United States tahun 1987, bagian dari serial . Dalam perebutan wilayah di Laut Tiongkok Selatan dan kontroversi sembilan garis putus-putus, Indonesia telah menerapkan doktrin keberatan ini dalam nota-nota protesnya terhadap Republik Rakyat Tiongkok. (in)
- Persistent objector (ang. trwały przeciwnik) – określenie państwa, które nie staje się związane określoną normą zwyczaju międzynarodowego, ponieważ sprzeciwia się jej w sposób stały, konsekwentny i jednoznaczny. Sprzeciw państwa, aby być skutecznym, powinien objawiać się już na etapie tworzenia normy zwyczajowej i być kontynuowany także w czasie, gdy nabrała już ona mocy prawnie wiążącej. Istnienie instytucji persistent objector stanowi wyłom od zasady powszechnego obowiązywania norm zwyczaju międzynarodowego. Instytucja ta występuje bardzo rzadko i brak jest szerszej praktyki międzynarodowej co do możliwości powoływania się na nią. (pl)
|
prov:wasDerivedFrom
| |
page length (characters) of wiki page
| |
foaf:isPrimaryTopicOf
| |
is Link from a Wikipage to another Wikipage
of | |
is foaf:primaryTopic
of | |